Annisa, jemaah asal Kloter 06 UPG. Foto Kemenag.
Jeddah. BeritaHaji.id – Hari-hari suci ibadah haji yang seharusnya penuh khusyuk dan suka cita berubah menjadi duka mendalam bagi Annisa, jemaah asal Kloter 06 UPG.
Di tengah perjalanan spiritualnya di Tanah Suci, ia mendapat kabar rumahnya di Sulawesi Selatan ludes dilalap api.
“Berat Pak, rasanya saat kabar itu bertubi-tubi saya terima dari sanak keluarga. Minta bersabar,” tutur Annisa saat ditemui di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sebelum kepulangannya ke Tanah Air, Sabtu, 14 Juni 2025.
Kebakaran terjadi Jumat dini hari, jelang pelaksanaan salat Idul Adha, di Takkalalla, Kabupaten Soppeng, kampung halamannya. Rumah kayu yang selama ini menjadi tempat berteduh bersama keluarga kini hanya menyisakan puing.
“Semua pakaian dan barang berharga tak ada yang bisa diselamatkan,” ungkapnya.
Suami dan anak Annisa hanya mampu menyelamatkan satu sepeda motor yang terparkir di bawah kolong rumah. Tak ada yang tersisa dari harta benda lainnya.
Annisa mengaku menerima kabar duka itu saat sedang berjalan menuju Jamarat untuk melontar jumrah. Saat itulah tubuhnya seketika lemas. Batu kerikil yang digenggam terasa begitu berat, langkahnya lunglai.
“Tumpuan kaki rasanya nggak kuat. Semuanya berat,” ujarnya sambil mengingat peristiwa yang menyayat hati itu.
Ia menunaikan haji tanpa didampingi sang suami, Supardi. Di tengah jutaan jemaah, Annisa hanya bisa menangis sesunggukan. Beruntung, ia tidak sendiri.
Ibu Eli Rahmani, rekan sekamarnya sekaligus sahabat selama di Tanah Suci, terus berada di sisinya. Tak henti-hentinya ia memberi dukungan dan doa.
“Ini cobaan. Sabar Bu, kita lagi dicoba. Mari kita berdoa semoga di balik semua itu ada hikmahnya,” ucap Ibu Eli, menenangkan.
Setelah selesai melontar jumrah, Annisa memilih menepi dan menenangkan diri. Ia khawatir tekanan darahnya kambuh.
“Saya punya riwayat tensi yang tinggi Pak, sehingga suami dan anak saya tidak mengabari malam setelah kejadian. Justru informasi saya terima dari rekan tetangga dan keluarga dekat,” ucapnya sambil menyeka air mata.
Kabar duka itu kemudian disampaikan oleh Ibu Eli ke grup kloter. Respons dari jemaah lain pun luar biasa.
Satu per satu rekan kloter mendatangi Annisa di Tenda Mina, menyampaikan simpati, semangat, dan doa. Tak berhenti di situ, pembimbing ibadah yang juga Kepala Kemenag setempat, H Musriadi, langsung menginisiasi penggalangan bantuan dari seluruh jemaah asal Soppeng di kloter tersebut.
“Alhamdulillah, ada yang bisa dikumpulkan dari jemaah untuk mengurangi beban duka keluarganya,” tambah Ibu Eli.
Meski rumahnya telah rata dengan tanah, Annisa tetap bersikeras untuk pulang langsung ke rumah.
“Saya pergi dilepas di rumah saya, maka pantang bagi orang Bugis untuk tiba bukan di rumah sendiri,” tegasnya.
Ia belum tahu apa yang akan dihadapinya sesampainya di kampung halaman. Namun, satu hal yang ia pegang yakni pasrah dan yakin bahwa setiap cobaan pasti ada hikmah.
“Berat Pak, rasanya saat kabar itu bertubi-tubi saya terima dari sanak keluarga. Minta bersabar,” tutur Annisa saat ditemui di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sebelum kepulangannya ke Tanah Air, Sabtu, 14 Juni 2025.
Kebakaran terjadi Jumat dini hari, jelang pelaksanaan salat Idul Adha, di Takkalalla, Kabupaten Soppeng, kampung halamannya. Rumah kayu yang selama ini menjadi tempat berteduh bersama keluarga kini hanya menyisakan puing.
“Semua pakaian dan barang berharga tak ada yang bisa diselamatkan,” ungkapnya.
Suami dan anak Annisa hanya mampu menyelamatkan satu sepeda motor yang terparkir di bawah kolong rumah. Tak ada yang tersisa dari harta benda lainnya.
Annisa mengaku menerima kabar duka itu saat sedang berjalan menuju Jamarat untuk melontar jumrah. Saat itulah tubuhnya seketika lemas. Batu kerikil yang digenggam terasa begitu berat, langkahnya lunglai.
“Tumpuan kaki rasanya nggak kuat. Semuanya berat,” ujarnya sambil mengingat peristiwa yang menyayat hati itu.
Ia menunaikan haji tanpa didampingi sang suami, Supardi. Di tengah jutaan jemaah, Annisa hanya bisa menangis sesunggukan. Beruntung, ia tidak sendiri.
Ibu Eli Rahmani, rekan sekamarnya sekaligus sahabat selama di Tanah Suci, terus berada di sisinya. Tak henti-hentinya ia memberi dukungan dan doa.
“Ini cobaan. Sabar Bu, kita lagi dicoba. Mari kita berdoa semoga di balik semua itu ada hikmahnya,” ucap Ibu Eli, menenangkan.
Setelah selesai melontar jumrah, Annisa memilih menepi dan menenangkan diri. Ia khawatir tekanan darahnya kambuh.
“Saya punya riwayat tensi yang tinggi Pak, sehingga suami dan anak saya tidak mengabari malam setelah kejadian. Justru informasi saya terima dari rekan tetangga dan keluarga dekat,” ucapnya sambil menyeka air mata.
Kabar duka itu kemudian disampaikan oleh Ibu Eli ke grup kloter. Respons dari jemaah lain pun luar biasa.
Satu per satu rekan kloter mendatangi Annisa di Tenda Mina, menyampaikan simpati, semangat, dan doa. Tak berhenti di situ, pembimbing ibadah yang juga Kepala Kemenag setempat, H Musriadi, langsung menginisiasi penggalangan bantuan dari seluruh jemaah asal Soppeng di kloter tersebut.
“Alhamdulillah, ada yang bisa dikumpulkan dari jemaah untuk mengurangi beban duka keluarganya,” tambah Ibu Eli.
Meski rumahnya telah rata dengan tanah, Annisa tetap bersikeras untuk pulang langsung ke rumah.
“Saya pergi dilepas di rumah saya, maka pantang bagi orang Bugis untuk tiba bukan di rumah sendiri,” tegasnya.
Ia belum tahu apa yang akan dihadapinya sesampainya di kampung halaman. Namun, satu hal yang ia pegang yakni pasrah dan yakin bahwa setiap cobaan pasti ada hikmah.