Aris Imam Masyhudi. Foto ist.
BeritaHaji.id - Perasaan saya langsung campur aduk, antara bahagia dan bersyukur atas kebesaran-Nya, terpadu menjadi satu, setelah membaca pesan whatsapp d
Ya, Sang Khalik, Yang Maha Berkehendak, ternyata berkenan mengabulkan doa saya, sosok makhluk yang masih bergelimang dosa ini, untuk bisa mewakafkan diri bagi Duyufurrahman, para Tamu Allah, yang akan menjalankan Ibadah Haji tahun 2024.
Sang Maha Pencipta masih berkenan mengundang hambanya yang kufur nikmat ini, untuk berkesempatan menunaikan rukun Islam kelima yang menjadi dambaan seluruh muslim di dunia.
Selain kebahagiaan dan rasa syukur yang tak terkira itu, ingatan saya langsung tertuju kepada sosok paling spesial bagi saya… Ibu… Ya, Ibu.
”Tak dungakno awakmu iso dadi petugas haji le (aku doakan semoga dirimu bisa menjadi petugas haji, nak),”. Doa yang dilantunkan ibu ini benar-benar terpatri kuat dalam ingatanku. Doa itu pula yang selalu beliau panjatkan kepada Allah SWT, agar suatu saat saya bisa menjadi pelayan tamu Allah.
Harapan yang disematkan ibu kepada saya bukan tanpa alasan. Beliau merasakan sendiri bagaimana para petugas haji banyak membantunya selama menunaikan ibadah haji pada 2023 silam.
Seusai menerima pesan whatsapp itu, kucari nomor kontak ibu, lalu menelponnya, untuk menyampaikan kabar bahagia itu. Meski hari itu saya tak bisa bertatap muka langsung dengannya, tapi saya bisa merasakan bagaimana kebahagiaan beliau saat itu.
Beberapa hari berselang, saya pun pulang ke kampung halaman. Untuk menemui beliau. Seperti biasa. Wajahnya tegar. Tapi, aura kebahagiaan tak bisa disembunyikannya saat bertemu dengan saya. Sambil berucap. ”Alhamdulillah le. Wes persiapno awakmu lahir batin. Mugo-mugo diijabahi Gusti Allah (Alhamdulillah nak. Sudah sekarang persiapkan dirimu lahir dan batin. Semoga Allah mengijabahi),”.
Ujian Pertama
Dua pekan jelang menjalani Bimbingan Teknis Panitia Petugas Haji Indonesia (PPIH) 2024. Sebuah kabar datang. Ibuku sudah sepekan hanya terbaring di tempat tidurnya. Sebuah kebiasaan yang nyaris tak pernah kutemui dari beliau, yang selalu kuat menahan sakitnya. Yang selalu tegar di hadapan keluarganya.
Hari itu juga, kuputuskan untuk pulang menemui beliau. Saat melihatnya langsung, aku mulai sadar, yang dialami ibuku bukan lah sakit biasa. Hari itu pula, meskipun sempat ada penolakan darinya, kuputuskan langsung membawa beliau ke Rumah Sakit (RS).
Kekhawatiranku mulai terbukti. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, dokter RS merekomendasikan ibuku untuk menjalani rawat inap. Sambil menjalani diagnosa lanjutan. Saya memutuskan untuk menjaga beliau. Meninggalkan sementara istri dan anak-anakku di rumah.
Hari demi hari kudampingi beliau. Keluar masuk rumah sakit kutemani. Hingga akhirnya, hasil diagnosa itu keluar. Yang membuat kebahagiaanku langsung luntur, berubah menjadi rasa duka. Sebuah penyakit yang berat tengah dialami ibu. Aku tak tega untuk menyampaikan hasil diagnosa itu kepadanya.
Terpaksa aku membohonginya. Mengatakan bahwa penyakit yang dialaminya biasa-biasa saja. Saat itu juga, aku bertanya kepada beliau. ”Buk, yoopo nek aku gak usah melu Bimtek? Aku tak njogo sampeyan ae. (Bu, bagaimana jika aku tidak mengikuti bimtek PPIH? Lebih baik saya menjaga ibu saja),”.
Meski kondisi fisiknya sudah terlihat lemah, jawaban ibuku begitu tegas. Dia melarangku untuk tidak mengikuti bimtek itu. ”Wes budalo le. Niatno ibadah. Mugo-mugo ibadahmu dadi tombo ambek pahala gawe keluarga (sudah berangkat lah nak. Niatkan lah untuk ibadah. Semoga ibadahmu menjadi obat sekaligus pahala gawe keluarga),”.
Meski tak mampu menghapus kesedihan, jawaban itu menyadarkan diri saya. Ya, ini lah kesempatan terbesarku untuk mengharap pahala dari Allah SWT. Demi ibu, demi keluarga.
Dengan Mengharap Ridho Allah, dan Syafaat Rosulullah
Hari-hari pertama menjalani bimtek, pikiran saya masih terbelah. Semua materi kuikuti, semua tahapan praktik juga saya jalani. Namun, wajah ibu yang terbaring lemah membuat perasaan ini masih campur aduk.
Demi menghibur beliau, sesering mungkin aku menelponnya. Sambil bercerita tentang proses bimtek yang kujalani. Berharap cerita itu bisa membuatnya bahagia di tengah rasa sakit yang dialaminya.
Sampai momen itu akhirnya datang. Salah satu bait lirik ”Mars PPIH” yang saya nyanyikan setiap hari selama Bimtek, seakan membuat saya tersadar. Inilah saatnya ”Mengharap ridha Allah dan syafaat Rasulullah”.
Setiap kali melantunkan bait itu, getaran batin yang saya rasakan begitu luar biasa. Tak jarang, air mata meleleh tanpa diundang. Bait itulah yang membuat niat saya untuk melanjutkan ikhtiar menjadi bagian dari PPIH 2024 kembali mengembang. Meskipun, kegalauan itu tetap tak bisa terhapus.
Ujian itu Tiba
Seusai menjalani bimtek, saya kembali menjalani hari demi hari mendampingi ibu yang masih berusaha menghadapi sakit yang dideritanya. Semua kabar gembira kuceritakan kepadanya.
Di tengah rasa sakit yang dideritanya, kebahagiaan itu terlihat jelas dari wajahnya. Meski tak lagi bisa mengucapkan kata-katanya, senyumnya merekah saat mengetahui bahwa saya tak lama lagi segera berangkat ke tanah suci. Menjadi pelayan duyufurrahman. Doa yang selama ini dilantunkannya dikabulkan Sang Maha Kuasa.
Selama itu pula, bersama seluruh keluarga, ikhtiar demi ikhtiar kami lakukan demi kesembuhan ibu. Namun, Allah telah menetapkan takdirnya. Tiga pekan menjelang keberangkatan saya ke tanah suci, Sang Khalik memanggil ibu untuk kembali ke pangkuannya.
Sebuah pukulan telak bagi saya dan keluarga. Begitu banyak jasa yang telah beliau berikan kepada saya dan keluarga. Namun, kami belum bisa memberikan yang terbaik untuknya.
”Bu. Kulo niatne kabeh ibadahku nang tanah suci gawe sampeyan. Mugo-mugo Allah berkenan paring pahala sing Insyallah tak tujukne gawe sampeyan (Bu, saya niatkan semua ibadahku di tanah suci untukmu. Semoga Allah berkenan memberikan pahalanya yang Insya Allah saya tujukan untuk ibu),”.
Niat sekaligus doa itu lah yang saya panjatkan sesaat setelah ibu menghadap ke-hadirat-Nya.
Niat sekaligus doa itu pula yang selalu saya panjatkan saat saya menghadap pusara ibu di setiap kesempatan jelang keberangkatan ke tanah suci.
Di tengah kesedihan yang begitu mendalam, aku dihampiri bapakku. Sebuah pesan mendalam dia sampaikan kepada saya. ”Le. Nek pas lagi longgar. Tulung dungakno ibumu di Raudhah. Ibumu kepingin mrono maneh (Nak. Jika ada waktu luang, tolong doakan ibumu saat di Raudhah. Ibumu sangat ingin kembali datang ke sana),”.
Kalimat bapak seakan memberikan energi di tengah duka yang begitu luar biasa. Bismillah. Ya Allah. Semoga amanah dua sosok yang paling kusayangi itu bisa kulaksanakan.
*Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku Mengukir Senyum di Haramain terbitan Biro HDI Kemenag.