Wakil Menteri Agama RI Romo KH R Muhammad Syafi'i. Foto Kemenag.
Makkah. BeritaHaji.id - Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Romo KH R Muhammad Syafi’i, memberikan sejumlah pesan penting kepada jemaah haji.
Pesan ini disampaikan jelanh pelaksanaan wukuf di Arafah yang akan menjadi puncak seluruh rangkaian ibadah haji, Kamis, (5 Juni 2025).
Menurut Wamenag, Arafah merupakan gambaran manusia dalam keadaan mati yang kemudian dikumpulkan kembali di padang Mahsyar.
“Arafah adalah gambaran manusia dalam keadaan mati dan dikumpulkan kembali di padang Mahsyar,” ujarnya.
Pada tahapan Armuzna, Wamenag menjelaskan bahwa kondisi jemaah seolah-olah dalam keadaan mati. Di Arafah, seluruh jemaah haji diwajibkan mengenakan pakaian ihram, sebagai simbol bahwa di hadapan Allah Swt semua manusia adalah sama tanpa memandang status duniawi.
“Di Arafah, kita tidak memakai pakaian lain kecuali ihram. Kita berkumpul dan berjalan bersama,” kata Romo KH R Muhammad Syafi’i.
Ia menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan lainnya, termasuk yang memiliki pangkat tinggi di dunia.
Lebih lanjut, Arafah disebut sebagai miniatur padang Mahsyar, tempat di mana seluruh manusia merendahkan diri dan mengharapkan ridho Allah Swt.
“Kita semua merendahkan diri kepada Allah Swt dan mengharapkan ridho Allah Swt,” imbuhnya.
Setelah berwukuf di Arafah, jemaah akan bergerak menuju Muzdalifah, di mana mereka diwajibkan mabit atau menginap serta mengumpulkan batu kerikil. Selanjutnya, jemaah akan melanjutkan perjalanan ke Mina.
“Kita persiapkan diri ke Muzdalifah dan menceker diri mencari kerikil. Kita pertahankan kerendahan diri kita di hadapan Allah Swt,” kata Wamenag.
Dikatakan, batu kerikil tersebut akan digunakan untuk melontar jumrah di Mina, sebagai simbol menangkis segala godaan setan.
Menurut Wamenag, Arafah merupakan gambaran manusia dalam keadaan mati yang kemudian dikumpulkan kembali di padang Mahsyar.
“Arafah adalah gambaran manusia dalam keadaan mati dan dikumpulkan kembali di padang Mahsyar,” ujarnya.
Pada tahapan Armuzna, Wamenag menjelaskan bahwa kondisi jemaah seolah-olah dalam keadaan mati. Di Arafah, seluruh jemaah haji diwajibkan mengenakan pakaian ihram, sebagai simbol bahwa di hadapan Allah Swt semua manusia adalah sama tanpa memandang status duniawi.
“Di Arafah, kita tidak memakai pakaian lain kecuali ihram. Kita berkumpul dan berjalan bersama,” kata Romo KH R Muhammad Syafi’i.
Ia menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan lainnya, termasuk yang memiliki pangkat tinggi di dunia.
Lebih lanjut, Arafah disebut sebagai miniatur padang Mahsyar, tempat di mana seluruh manusia merendahkan diri dan mengharapkan ridho Allah Swt.
“Kita semua merendahkan diri kepada Allah Swt dan mengharapkan ridho Allah Swt,” imbuhnya.
Setelah berwukuf di Arafah, jemaah akan bergerak menuju Muzdalifah, di mana mereka diwajibkan mabit atau menginap serta mengumpulkan batu kerikil. Selanjutnya, jemaah akan melanjutkan perjalanan ke Mina.
“Kita persiapkan diri ke Muzdalifah dan menceker diri mencari kerikil. Kita pertahankan kerendahan diri kita di hadapan Allah Swt,” kata Wamenag.
Dikatakan, batu kerikil tersebut akan digunakan untuk melontar jumrah di Mina, sebagai simbol menangkis segala godaan setan.
Wamenag menegaskan bahwa seluruh kekuatan harus digunakan untuk melontar jumrah dengan sungguh-sungguh.
“Kita gunakan semua kekuatan yang kita punya untuk melempar jumrah,” ucapnya.
Ia menjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang membuahkan peningkatan ketakwaan dan membawa perubahan positif dalam diri jemaah setelah kembali ke tanah air.
Menurutnya, ciri haji mabrur terlihat dari niat yang tulus untuk selalu mentaati Allah Swt tanpa membanggakan apapun.
“Harta dipakai untuk mentaati Allah, jabatan dipakai untuk mentaati Allah,” ujarnya.
Lebih jauh, Wamenag menambahkan bahwa haji mabrur juga tercermin dari meningkatnya ibadah mahdah serta pelayanan sosial yang dirasakan oleh sesama.
“Ibadah mahdah semakin meningkat, dan ibadah sosialnya semakin dirasakan oleh sesama,” pungkasnya.
“Kita gunakan semua kekuatan yang kita punya untuk melempar jumrah,” ucapnya.
Haji yang Mabrur
Mengenai kemabruran haji, Wamenag menekankan bahwa tugas jemaah tidak berhenti setelah pelaksanaan haji selesai.Ia menjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang membuahkan peningkatan ketakwaan dan membawa perubahan positif dalam diri jemaah setelah kembali ke tanah air.
Menurutnya, ciri haji mabrur terlihat dari niat yang tulus untuk selalu mentaati Allah Swt tanpa membanggakan apapun.
“Harta dipakai untuk mentaati Allah, jabatan dipakai untuk mentaati Allah,” ujarnya.
Lebih jauh, Wamenag menambahkan bahwa haji mabrur juga tercermin dari meningkatnya ibadah mahdah serta pelayanan sosial yang dirasakan oleh sesama.
“Ibadah mahdah semakin meningkat, dan ibadah sosialnya semakin dirasakan oleh sesama,” pungkasnya.