Reformasi Kuota Haji dan Tanggung Jawab Negara Menjaga Keadilan Ibadah

Ma'rifah Nugraha
0
Jemaah haji Indonesia tiba di Makkah. Foto Kemenag.

BeritaHaji.id - Setiap kebijakan yang bersentuhan dengan urusan umat, apalagi menyangkut ibadah suci seperti haji, hampir selalu menimbulkan reaksi emosional. Tidak sedikit calon jemaah yang merasa bingung atau kecewa ketika mendengar kuota daerahnya berkurang, atau keberangkatannya tertunda, padahal selama ini merasa “sudah waktunya” berangkat.

Kebingungan semacam ini sangat bisa dipahami. Selama bertahun-tahun, sistem pembagian kuota haji di Indonesia dijalankan dengan pola yang berbeda dari prinsip keadilan substantif yang kini sedang ditegakkan. Dalam sistem lama yang selama ini diberlakukan, kuota nasional dibagi ke dalam provinsi, kemudian ke kabupaten/kota (di beberapa wilayah), dengan dasar jumlah penduduk muslim, bukan urutan pendaftaran jemaah (waiting list). Akibatnya, banyak daerah mendapat jatah besar meski jumlah pendaftarnya relatif kecil, sementara daerah dengan daftar tunggu panjang justru terus menunggu tanpa kepastian.

Kini, setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 2019, pemerintah mulai menata ulang sistem agar lebih adil secara substantif. Pembagian kuota kini berdasarkan jumlah pendaftar atau waiting list nasional. Langkah ini memang menyebabkan perubahan signifikan: sebagian daerah mengalami peningkatan kuota, sebagian lagi penyesuaian. Namun secara prinsip, yang berubah bukan hak jemaah, melainkan cara menegakkan keadilan.

Mengapa Ada Jemaah yang Menurut Perhitungan Lama Sudah Waktunya, Tapi Belum Berangkat

Banyak calon jemaah dari daerah seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, atau Bengkulu merasa heran karena menurut sistem lama, mereka sudah seharusnya berangkat tahun ini. Mereka sudah melunasi biaya, ikut manasik, dan menyiapkan diri sebaik-baiknya. Namun setelah diterapkan sistem baru berbasis waiting list provinsi, sebagian ternyata belum masuk dalam daftar keberangkatan.

Fenomena ini tidak disebabkan oleh kesalahan teknis atau penghapusan hak, melainkan karena urutan nomor porsi mereka berada di bawah jemaah lain dalam provinsi yang sama yang mendaftar lebih dulu. Dalam sistem baru, nomor porsi menjadi penentu utama keberangkatan. Dengan demikian, tidak ada lagi jemaah yang “menyalip” antrean dalam satu provinsi.

Mereka yang belum berangkat tahun ini tetap memiliki hak penuh untuk berangkat, hanya saja urutannya disesuaikan agar selaras dengan prinsip first come, first served. Artinya, antrian diluruskan, bukan dihapuskan.

Ketimpangan Pada Sistem Lama: Kuota yang Tak Paralel dengan Jumlah Pendaftar

Sumber utama persoalan selama ini terletak pada ketidaksesuaian antara jumlah kuota dan jumlah pendaftar riil.Selama hampir satu dekade, sejumlah provinsi menerapkan pembagian kuota ke kabupaten/kota berdasarkan jumlah penduduk muslim atau berdasarkan afirmasi tertentu.

Akibatnya, kabupaten dengan populasi besar tetapi daftar tunggu kecil memperoleh jatah berlebih, sedangkan kabupaten dengan antrean panjang justru kekurangan kuota. Kondisi ini melahirkan ketimpangan ekstrem: ada kabupaten yang setiap tahun bisa memberangkatkan ratusan jemaah meski daftar tunggunya pendek, sementara kabupaten lain hanya bisa memberangkatkan puluhan orang meski daftar tunggunya ribuan. Dalam beberapa kasus, situasi ini bahkan menimbulkan kecemburuan sosial di antara calon jemaah antarwilayah.

Sistem baru berbasis waiting list provinsi menghapus ketimpangan tersebut. Kini, seluruh calon jemaah di provinsi yang sama berada dalam satu antrean tunggal yang diatur berdasarkan urutan pendaftaran nasional. Proses ini menjamin bahwa setiap jemaah diperlakukan secara proporsional, tanpa diskriminasi administratif antar kabupaten.

Perubahan yang Diatur oleh Undang-Undang

Perubahan ini bukanlah keputusan administratif yang tiba-tiba, melainkan mandat hukum dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025. Regulasi ini secara eksplisit menegaskan bahwa pembagian kuota haji antarprovinsi dilakukan berdasarkan proporsi jumlah pendaftar (waiting list), proporsi jumlah penduduk muslim, atau gabungan keduanya.

Sebelum menetapkan waiting list sebagai dasar pembagian kuota, pemerintah melalui Kementerian Haji dan Umrahtelah melakukan kajian teknokratik, simulasi kebijakan, dan serangkaian diskusi bersama para pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah. Hasil kajian tersebut kemudian dibahas secara resmi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPR RI pada 30 September 2025, di mana opsi waiting list dinilai paling adil dan rasional dibandingkan dua alternatif lainnya. Setelah melalui tahap sosialisasi publik di berbagai provinsi dan konsultasi dengan Komisi VIII DPR, pilihan ini akhirnya disahkan dalam Rapat Kerja (Raker) DPR RI pada 29 Oktober 2025 sebagai formula pembagian kuota haji tahun 1447H/2026M.

Dengan formula baru ini, Kementerian Haji dan Umrah Republik Indonesia menghitung kuota provinsi berdasarkan total waiting list aktual. Provinsi dengan antrean panjang seperti Aceh, Sulawesi Selatan, NTB, dan Jawa Timur memperoleh tambahan kuota yang signifikan, sementara daerah dengan antrean pendek mengalami penyesuaian. Meski secara kasat mata tampak menurun, kebijakan ini merupakan langkah korektif untuk memulihkan keseimbangan nasional. Tujuannya bukan membedakan, tetapi menyamakan rata-rata masa tunggu nasional agar tidak ada lagi daerah yang menunggu 40 tahun, sementara daerah lain hanya 11 tahun.

Menjawab Kebingungan Publik: Hak Tidak Hilang, Antrian Diluruskan

Rasa kecewa di kalangan jemaah yang tertunda adalah hal yang manusiawi. Namun secara faktual, tidak ada hak yang hilang. Jemaah yang tertunda keberangkatannya karena penyesuaian kuota akan tetap diberangkatkan pada musim haji berikutnya sesuai nomor porsinya, dengan urutan nomor porsi yang tetap terjaga.

Nomor porsi tetap menjadi jaminan legal dan administratif, dana jemaah tetap aman di bawah pengawasan BPKH, dan seluruh proses kini bisa dipantau secara digital melalui sistem SISKOHAT.

Dengan kata lain, yang berubah hanyalah urutan berangkat, bukan hak berangkat. Jika ada yang merasa “sudah waktunya”, maka penjelasannya sederhana: ada yang lebih dulu mendaftar dan kini mendapat giliran. Kebijakan ini adalah penegakan keadilan substantif—bukan semua mendapat jatah sama besar, melainkan semua mendapat hak sesuai antrean sebenarnya.

10 Provinsi Terdampak

Sepuluh provinsi yang selama ini membagi kuota sampai level kabupaten/kota—yakni Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan—adalah yang paling terasa dampaknya ketika formula 1447H/2026 mengadopsi waiting list tingkat provinsi. Di provinsi-provinsi ini, pola lama berbasis proporsi penduduk muslim per kab/kota sering kali tidak paralel dengan jumlah pendaftar riil (waiting list); akibatnya ada kabupaten ber-populasi besar tetapi daftar tunggunya pendek yang selama bertahun-tahun menikmati jatah relatif besar, sementara kabupaten bertumpuk antrean justru kekurangan jatah. Dengan antrean tunggal di level provinsi, urutan nomor porsi menjadi satu-satunya rujukan: kabupaten/kota dengan pendaftar lebih awal dan antrean lebih tebal mendapatkan porsi lebih proporsional, sedangkan daerah yang selama ini “terbantu” oleh skema populasi mengalami penyesuaian turun, bahkan pada beberapa kasus nihil alokasi sementara—bukan karena haknya dihapus, melainkan karena tidak boleh lagi menyalip antrean dalam provinsi. Dampak ini tampak pada distribusi baru Jawa Barat yang jauh lebih mengikuti profil antrean dibanding pola historis, atau Bengkulu, Kalimantan Barat, Kaltim, Kaltara, Malut, Maluku, Papua Barat, Sulbar, dan Sulsel yang kini memperlihatkan pergeseran antar kab/kota sesuai kedalaman waiting list masing-masing. Intinya, keadilan substantif sedang ditegakkan: tidak semua daerah mendapat angka yang sama seperti dulu, tetapi setiap jemaah—di kabupaten mana pun—diposisikan sesuai urutan pendaftaran dalam antrean provinsinya, sehingga masa tunggu antar-wilayah dalam satu provinsi menjadi lebih wajar, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dampak Sosial dan Rasionalitas Kebijakan

Kebijakan redistribusi kuota haji 2026 merupakan bentuk koreksi struktural terhadap ketimpangan yang lama dibiarkan. Dalam studi kebijakan publik, langkah seperti ini disebut sebagai restorative policy — kebijakan yang memulihkan keseimbangan dan memperbaiki distorsi sistemik.

Pada tahap awal, kebijakan semacam ini wajar menimbulkan gejolak sosial. Ada kabupaten yang merasa “kehilangan kuota”, dan ada jemaah yang merasa waktunya mundur. Tetapi dalam jangka panjang, manfaatnya akan dirasakan lebih luas: masa tunggu menjadi lebih merata, kesempatan berangkat lebih seimbang, dan rasa keadilan meningkat.

Kebijakan ini juga sejalan dengan arah kebijakan nasional yang menekankan efisiensi, transparansi, dan peningkatan mutu layanan haji. Dalam Sidang Kabinet 20 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto memberikan apresiasi atas capaian Kementerian Haji dan Umrah yang berhasil menurunkan rata-rata Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp 2 juta tanpa menurunkan kualitas pelayanan di Tanah Suci. Ini membuktikan bahwa reformasi haji tidak hanya tentang angka dan kuota, tetapi tentang perbaikan sistem pelayanan publik keagamaan secara menyeluruh.

Kebijakan redistribusi kuota haji 2026 adalah tonggak penting dalam upaya menegakkan keadilan substantif dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Ia tidak membatasi hak siapa pun, melainkan meluruskan urutan yang selama ini tidak sejajar dengan prinsip keadilan.

Kebingungan sebagian jemaah adalah bagian dari proses transisi menuju sistem yang lebih jujur dan transparan. Namun bila dilihat secara ilmiah dan rasional, sistem baru berbasis waiting list justru merupakan jaminan keadilan dan kepastian, bukan ancaman.

Dalam konteks ibadah, kesabaran menunggu bukan sekadar ujian personal, tetapi juga wujud keimanan terhadap tertibnya sistem yang dibangun atas dasar kejujuran dan keadilan. Kini, Indonesia tengah menegakkan prinsip bahwa keadilan tidak berarti semua mendapat jatah yang sama, tetapi semua mendapat kesempatan yang sama adil.

Dan dalam hal haji, keadilan itu kini sedang dijaga dengan cara yang paling rasional, transparan, dan bermartabat — demi menghormati setiap langkah umat menuju Tanah Suci.

Penulis: (Dr. Puji Raharjo, S.Ag., S.S., M.Hum) Dirjen Bina Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada Kementerian Haji dan Umrah RI

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top