Bukan Sekadar Tradisi, Ini Hukum dan Dalil Membawa Oleh-oleh Haji

Redaksi
0
Jemaah haji Indonesia sedang memilih-milih oleh-oleh di Pasar Kakiyah, Makkah. Foto Kemenag.

BeritaHaji.id - Kurma, air zamzam, sajadah, hingga parfum Arab menjadi pemandangan khas yang kerap dibawa pulang para jamaah haji. Meski ibadah jadi tujuan utama, kegiatan belanja oleh-oleh rupanya tak pernah absen dari perjalanan mereka.

Setelah menunaikan rukun dan wajib haji, para jamaah kerap menyempatkan diri mampir ke toko-toko oleh-oleh. 

Dulu pusatnya di Pasar Seng, kini bergeser ke Pasar Ja’fariyah. Di sanalah mereka berburu kopiah, tasbih, surban, hingga hati unta dan kadal Arab semuanya untuk keluarga dan kerabat di Tanah Air.

Kalimat “Bikam hadza?” alias “berapa harganya ini?” sering terdengar dari mulut para jamaah yang mencoba tawar-menawar dengan para pedagang lokal.

Meski sekilas tampak sepele, kebiasaan membawa buah tangan ini ternyata punya dasar dalam ajaran Islam. Memberi oleh-oleh merupakan bentuk nyata dari idkhalus surur usaha menyenangkan hati sesama muslim. Lantas bagaimana hukum dan dalilnya?

Dalil Membawa Buah Tangan

Melansir NU Online, sebuah hadits riwayat Thabrani menyebutkan bahwa perbuatan yang paling dicintai Allah adalah ketika seseorang memberi manfaat bagi orang lain. Membuat gembira sesama muslim bahkan disebut lebih utama daripada beri’tikaf di Masjid Nabawi selama sebulan.

"Diriwayatkan dari Umar, seseorang berkunjung kepada Nabi, lalu ia bertanya, Wahai Rasulullah, apakah perbuatan yang paling dicintai Allah? Rasulullah, menjawab manusia yang paling dicintai Allah adalah yang memberi manfaat kepada manusia lain, perbuatan yang paling dicintai Allah adalah membuat gembira terhadap seorang muslim, atau menjauhkan kesusahan darinya, atau melunasi utangnya, atau menghilangkan laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk suatu keperluan lebih aku mencintai daripada beri'tikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan" (HR. Thabrani di dalam al-Mu'jam al-Saghir, no. 861)

Tak hanya hadits, pandangan ulama pun mendukung kebiasaan ini. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut bahwa oleh-oleh baik makanan maupun barang lain disunnahkan, karena mampu membahagiakan hati keluarga.

"Dan dianjurkan untuk membawa oleh-oleh (buah tangan), baik berupa makanan atau lainnya untuk keluarga dan kerabatnya sesuai kemampuannya. Dan hal yang seperti itu hukumnya sunnah...... Karena pandangan mata akan melihat sesuatu yang dibawa selepas dari perjalanan. Hati mereka akan merasa senang akan kedatangannya dan akan menjadi lebih bertambah Bahagia bila disertai dengan oleh-oleh yang dibawanya" (Ihya' Ulumuddin juz 2 hlm 257)

Ulama Nusantara Syekh Nawawi Banten bahkan menambahkan dalam Uqudullujain, siapa yang membeli sesuatu untuk keluarganya lalu membawanya dengan tangannya sendiri, akan digugurkan dosa selama 70 tahun.
من اشترى لعياله شيأ ثم حمله بيده إليهم حط الله عنه ذنوب سبعين سنة


Artinya: Allah menggugurkan dosa tujuh puluh tahun bagi siapa yang membawa oleh-oleh sendiri untuk keluarganya.

Maka tak heran, meski bukan kewajiban, membawa oleh-oleh menjadi semacam “ritual” yang mengikat emosional. Tak peduli nilainya mahal atau murah yang penting mampu menebar senyum dan kasih sayang antar sesama.

Dari kurma, kismis, buah tin, Zamzam, kacang Arab, madu Arab, kopiah Arab, gamis, surban, sajadah, parfum, hati unta, bahkan kadal Arab menjadi simbol cinta dari Tanah Suci. Wallahu alam.

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top