Media Gathering AMPHURI di Kantor DPP AMPHURI. Foto Amphuri.
BeritaHaji.id - Wacana revisi Undang-Undang Haji dan Umrah kembali jadi sorotan, terutama soal kuota haji khusus.
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) menilai batas maksimal 8% bagi haji khusus justru mengancam keberlangsungan layanan yang selama ini berjalan baik.
Ketua Umum DPP AMPHURI, Firman M Nur, menyampaikan pandangannya dalam acara Media Gathering AMPHURI yang digelar di Kantor DPP AMPHURI, Jakarta Selatan, Jumat, 1 Agustus 2025.
"AMPHURI merekomendasikan agar ketentuan ini diubah menjadi: 'Kuota haji khusus ditetapkan sekurang-kurangnya 8% dari kuota nasional.'," ujar Firman.
"Dengan rumusan tersebut, negara tetap memiliki ruang pengawasan, namun memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jamaah dan penyelenggara,” tegasnya.
Dalam rancangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah yang tengah dibahas di DPR RI, tercantum Pasal 8 ayat (4) yang menyebut kuota haji khusus paling tinggi 8%. Ini menjadi penjelasan dari UU No. 8 Tahun 2019 pasal 64 ayat (2), yang menetapkan kuota haji khusus sebesar 8%.
Namun, Firman menyebut bahwa frasa "paling tinggi" justru berpotensi dimanipulasi karena bersifat elastis dan tidak mengikat.
"Hal ini menciptakan penerangan hukum dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang telah terbukti berjalan baik selama lebih dari satu dekade," ujarnya.
AMPHURI menilai selama ini penyelenggaraan haji khusus yang dikelola oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) berlangsung profesional dan tidak mengganggu penyelenggaraan haji secara nasional. Maka dari itu, pengurangan kuota tanpa evaluasi yang jelas dinilai sebagai bentuk pengabaian hak jamaah.
"Fakta menunjukkan bahwa realisasi kuota haji khusus selama ini berkisar 8% dan dikelola oleh PIHK secara profesional, tanpa gangguan berarti terhadap penyelenggaraan haji nasional. Maka pengurangan kuota secara sepihak tanpa dasar tujuan dan evaluatif, merupakan bentuk transaksi hak jamaah untuk memilih layanan ibadah yang sah dan berkualitas,” kata Firman.
Ia juga menyoroti bahwa pembahasan di DPR RI belum menghasilkan kesepakatan bulat soal kuota haji khusus. Dalam sidang paripurna DPR RI pada 24 Juli 2025 lalu, dari 8 fraksi, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang menyebut kuota haji khusus maksimal 8%.
"Sedangkan 7 fraksi lainnya, sama sekali tidak mengacu pada kuota haji khusus," jelas Firman.
AMPHURI juga membandingkan proporsi pelibatan swasta dalam penyelenggaraan haji di berbagai negara. Di Turki, dari total 80.000 kuota haji, 60% dialokasikan ke swasta. Pakistan menyerahkan 50% dari 179.000 kuotanya kepada pihak swasta. Sementara Malaysia mengalokasikan 20%.
Sedangkan di Indonesia, dari 210.000 kuota haji nasional, hanya sekitar 8% yang dipercayakan kepada swasta melalui skema Haji Khusus.
Firman menilai sudah saatnya Indonesia mengadopsi pola serupa, dengan pelibatan swasta yang lebih besar namun tetap teregulasi.
"Karena haji sangat berkaitan dengan Arab Saudi. Kita harus melihat bahwa Arab Saudi dengan Visi 2030 memiliki tata kelola yang jauh lebih baik dan modern dengan digital. Namun di sisi lain, mereka memberikan proporsi penyelenggaraan ke pihak swasta yang sangat kuat. Kami berharap, hal itu juga sejalan di Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, amandemen UU Haji dan Umrah harus menjawab harapan publik agar tata kelola haji ke depan semakin baik.
"Selain itu, hasil amandemen UU Haji dan Umrah nanti harus sejalan dengan kondisi di Arab Saudi," katanya.