Tanah suci Makkah. Foto Kemenag.
Jakarta. BeritaHaji.id - Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, melontarkan kritik tajam terhadap proses penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1447 H/2026 M. Ia menilai masih ada persoalan ketidakterbukaan dan potensi inefisiensi dalam pengelolaan anggaran haji.
Kritik tersebut disampaikan Selly dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI bersama Menteri Haji dan Umrah di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin, 27 Oktober 2025.
Rapat tersebut membahas usulan BPIH 2026 serta sejumlah isu aktual terkait penyelenggaraan ibadah haji.
Dalam kesempatan itu, Selly mengapresiasi adanya penurunan biaya haji sebesar Rp1 juta, dari Rp89,4 juta menjadi Rp88,4 juta. Namun, menurutnya, penurunan tersebut belum mencerminkan potensi efisiensi yang sesungguhnya.
“Kalau pengurangan 200 riyal untuk masyair saja bisa setara dengan Rp800 ribu lebih, logikanya penurunan biaya haji seharusnya bisa lebih dari satu juta rupiah,” tegas Selly , dikutip dari laman DPR RI.
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu juga menyinggung pernyataan Kementerian Haji dan Umrah yang sempat mengungkap adanya indikasi kerugian hingga Rp5 triliun dalam penyelenggaraan haji, terutama di sektor transportasi dan akomodasi di Makkah dan Madinah.
Menurutnya jika memang benar ada kerugian negara sebesar itu, katanya, maka seharusnya anggaran tersebut bisa digunakan untuk mengurangi biaya haji jamaah.
" Kami ingin data itu dibuka secara transparan, supaya tidak ada yang ditutupi,” sambungnya.
Selain soal efisiensi, Selly juga menyoroti ketimpangan biaya antar-embarkasi yang kerap dipertanyakan calon jemaah di daerah. Menurutnya, jamaah dari Aceh hingga Papua seharusnya membayar biaya yang sama karena memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam beribadah.
“Selama ini jamaah selalu bertanya kenapa biaya haji dari Aceh lebih murah dibanding Jawa Barat atau Banjarmasin. Kalau asas keadilan ingin ditegakkan, seharusnya tidak ada perbedaan biaya," ujarnya.
"Selisih biaya karena avtur misalnya, bisa ditanggung oleh nilai manfaat, bukan dibebankan kepada jamaah,” jelasnya.
Selly pun menantang Kementerian Haji dan Umrah agar berani menerapkan kebijakan biaya haji seragam secara nasional dengan menanggung perbedaan biaya dari hasil pengelolaan nilai manfaat dana haji.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti sejumlah pos anggaran yang dinilai belum efisien, termasuk pelaksanaan manasik haji di tingkat kecamatan yang dianggap menyedot anggaran besar.
“Kalau memang bisa dilakukan efisiensi, sebaiknya dilakukan. Misalnya kegiatan manasik yang diadakan menjelang keberangkatan itu perlu dikaji ulang. Jangan sampai ada pemborosan anggaran,” tegasnya.
Di akhir rapat, Selly menegaskan bahwa Komisi VIII akan membentuk Panitia Kerja (Panja) bersama pemerintah untuk mendalami hasil temuan BPK, BPKP, dan ICW terkait dugaan penyimpangan dalam penyelenggaraan haji sebelumnya.
“Kami ingin Panja ini dipimpin langsung oleh pemerintah agar hasil temuan dari lembaga audit seperti BPK atau BPKP bisa menjadi bahan pembahasan yang konkret," ujarnya.
"Kita ingin semua transparan, tidak ada dusta di antara kita,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Selly mengapresiasi adanya penurunan biaya haji sebesar Rp1 juta, dari Rp89,4 juta menjadi Rp88,4 juta. Namun, menurutnya, penurunan tersebut belum mencerminkan potensi efisiensi yang sesungguhnya.
“Kalau pengurangan 200 riyal untuk masyair saja bisa setara dengan Rp800 ribu lebih, logikanya penurunan biaya haji seharusnya bisa lebih dari satu juta rupiah,” tegas Selly , dikutip dari laman DPR RI.
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu juga menyinggung pernyataan Kementerian Haji dan Umrah yang sempat mengungkap adanya indikasi kerugian hingga Rp5 triliun dalam penyelenggaraan haji, terutama di sektor transportasi dan akomodasi di Makkah dan Madinah.
Menurutnya jika memang benar ada kerugian negara sebesar itu, katanya, maka seharusnya anggaran tersebut bisa digunakan untuk mengurangi biaya haji jamaah.
" Kami ingin data itu dibuka secara transparan, supaya tidak ada yang ditutupi,” sambungnya.
Selain soal efisiensi, Selly juga menyoroti ketimpangan biaya antar-embarkasi yang kerap dipertanyakan calon jemaah di daerah. Menurutnya, jamaah dari Aceh hingga Papua seharusnya membayar biaya yang sama karena memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam beribadah.
“Selama ini jamaah selalu bertanya kenapa biaya haji dari Aceh lebih murah dibanding Jawa Barat atau Banjarmasin. Kalau asas keadilan ingin ditegakkan, seharusnya tidak ada perbedaan biaya," ujarnya.
"Selisih biaya karena avtur misalnya, bisa ditanggung oleh nilai manfaat, bukan dibebankan kepada jamaah,” jelasnya.
Selly pun menantang Kementerian Haji dan Umrah agar berani menerapkan kebijakan biaya haji seragam secara nasional dengan menanggung perbedaan biaya dari hasil pengelolaan nilai manfaat dana haji.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti sejumlah pos anggaran yang dinilai belum efisien, termasuk pelaksanaan manasik haji di tingkat kecamatan yang dianggap menyedot anggaran besar.
“Kalau memang bisa dilakukan efisiensi, sebaiknya dilakukan. Misalnya kegiatan manasik yang diadakan menjelang keberangkatan itu perlu dikaji ulang. Jangan sampai ada pemborosan anggaran,” tegasnya.
Di akhir rapat, Selly menegaskan bahwa Komisi VIII akan membentuk Panitia Kerja (Panja) bersama pemerintah untuk mendalami hasil temuan BPK, BPKP, dan ICW terkait dugaan penyimpangan dalam penyelenggaraan haji sebelumnya.
“Kami ingin Panja ini dipimpin langsung oleh pemerintah agar hasil temuan dari lembaga audit seperti BPK atau BPKP bisa menjadi bahan pembahasan yang konkret," ujarnya.
"Kita ingin semua transparan, tidak ada dusta di antara kita,” tuturnya.


