Kisah Haji Muda Alda dari Demak, Dibisiki Mendiang Ibu Saat di Arafah

redaksi
0
Jemaah haji termuda, Alda Asmarawati Oktavia (21) dari Demak. Foto ist.

BeritaHaji.id - Di tengah lautan manusia yang khusyuk berzikir di bawah terik matahari Padang Arafah Makkah, Alda Asmarawati Oktavia (21) memeluk erat sebuah buku Yasin, di sampulnya, terbingkai wajah seorang perempuan yang paling ia rindukan.

Saat bibir gadis muda itu melantunkan ayat suci dan istighfar, diantara gemuruh talbiyah, tiba-tiba sebuah suara yang begitu akrab menyapa lembut, "Assalamualaikum Alda... Alda... Halo Alda..."

Seketika, pertahanan gadis asal Desa Gemulak, Demak Jawa Tengah itu runtuh. Air matanya tumpah, bukan karena sedih, melainkan karena sebuah keyakinan bahwa sapaan itu adalah jawaban atas segala kerinduannya.

Bagi Alda, haji tahun 2025 ini bukanlah sekadar perjalanan ibadah. Ini adalah sebuah ziarah untuk menunaikan amanah, melanjutkan mimpi mendiang ibunda tercinta, Umi Faridah.

Perjalanan ini dimulai dari sebuah duka pada 30 Juli 2020, saat sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Tak lama setelah itu, sang ayah, Alwi, mendapat informasi tentang program pelimpahan porsi haji.

Tanpa ragu, ia bersama putra sulungnya segera mengurus proses tersebut ke kantor Kementerian Agama Demak.

Setelah semua persyaratan dokumen seperti akta kematian dan surat pernyataan disiapkan, keluarga berdiskusi. Keputusan pun jatuh pada Alda. Namun, ada satu kendala: usianya saat itu baru 16 tahun.

"Kami harus menunggu sekitar tiga bulan sampai saya berusia 17 tahun dan mendapatkan KTP," kenang Alda.

"Barulah setelah semua berkas siap, proses pelimpahan nama ibu ke saya bisa diselesaikan," jelasnya.

Awalnya, perasaan Alda berkecamuk. Ada rasa bingung dan sedih yang mendalam karena ibunya telah menunggu begitu lama untuk momen ini. Namun, di sisi lain, ada rasa senang yang tak terkira karena terpilih menjadi tamu Allah di antara jutaan orang yang menanti.

"Ada sedikit rasa takut juga," akunya jujur.

Alda merasa belum bisa istiqomah dalam beribadah, imannya masih naik turun.

"Saya selalu bertanya-tanya, apakah saya sudah cukup layak untuk melakukan ibadah besar ini? Layakkah saya?" gumamnya dalam hati

Keraguan itu perlahan sirna berkat dukungan keluarga besar dan orang-orang di sekitarnya. Alda mulai memandang ini sebagai rezeki yang harus disyukuri. Ia bertekad untuk memantapkan hati, iman, dan menjadi pribadi yang lebih baik dari dirinya yang kemarin.

Puncak dari segala kegelisahan dan kerinduannya terjawab di Arafah. Saat wukuf bersama rombongannya, ketika khusyuk membaca Yasin dari buku bergambar wajah ibunya, suara panggilan itu datang. Setelah panggilan ketiga, tangisnya pecah.

"Saya menangis karena teringat ibu saya," tuturnya dengan suara bergetar. Sebuah fakta kemudian menyempurnakan momen magis itu. "Ternyata, hari itu bertepatan dengan peringatan 5 tahun kepergian ibu saya. Itu adalah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan."

Sebuah sapaan lintas dimensi di hari yang paling sakral, tepat di tanggal kepergian sang ibu, menjadi penawar rindu yang paling indah.

Kini, Alda membawa pulang bukan hanya gelar hajah, tetapi juga sebuah kedewasaan jiwa dan pesan mendalam untuk teman-teman sebayanya.

"Ibadah haji bukan untuk mereka yang sudah sempurna, tapi justru menjadi proses untuk memperbaiki diri dan mendewasakan jiwa," ujarnya bijak.

"Aku pun sempat merasa belum pantas, tapi ternyata Allah yang memanggil, bukan manusia yang memilih," lagi-lagi hatinya bergumam.

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top