Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj. Foto NU Online.
Jakarta. BeritaHaji.id - Kabar baru datang dari dunia haji dan umrah. Pemerintah dan DPR RI resmi menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Revisi ini menandai era baru yakni umrah mandiri kini resmi legal di Indonesia.
Kebijakan ini dinilai memberi banyak kemudahan bagi jamaah, mulai dari efisiensi biaya yang disebut bisa mencapai 50 persen, hingga fleksibilitas perjalanan ibadah. Namun, di balik keuntungan itu, muncul kekhawatiran soal aspek perlindungan jamaah.
“Satu hal lagi yang harus diperhatikan bagi mereka yang memilih menggunakan umrah mandiri ini, tentu segala risiko-risiko selama perjalanan, dari sejak dia take off pesawat dari tanah air sampai dengan kepulangan, kemudian pada saat dia ada di Saudi tentu tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana mereka yang menggunakan travel,” kata Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, dikutip NU Online, Kamis, 30 Oktober 2025.
Menurutnya, semua risiko harus ditanggung sendiri oleh jamaah. “Semuanya risikonya ditanggung sendiri, risiko penipuan, risiko tersesat, risiko sakit, bahkan kemudian yang paling ekstrem adalah ya, na'udzubillah, misalnya sampai meninggal,” lanjutnya.
Berbeda dengan jamaah yang berangkat lewat travel, kata Mustolih, mereka mendapat perlindungan penuh selama perjalanan. “Kan semuanya menjadi tanggung jawab daripada travel,” terangnya.
Selain itu, jamaah yang berangkat melalui travel biasanya lebih tenang dalam menjalankan manasik ibadah karena didampingi pembimbing dan jadwal yang teratur. “Jika ada insiden tersesat hingga tindak pidana, misalnya, akan ditangani oleh travel,” ujarnya.
“Nah ini tentu pilihan konsekuensi-konsekuensi kenapa kemudian umrah menggunakan travel dianggap lebih mahal,” tambah dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Meski begitu, Mustolih mengakui, dari sisi biaya, umrah mandiri bisa jauh lebih hemat. “Bahkan bisa menurut informasi ya itu sampai dengan 50 persen efesiensinya. Nah tentu ini ada plus dan minusnya,” katanya.
Ia memahami mengapa kebijakan ini muncul di tengah perkembangan digital yang pesat. “Bagi Komnas Haji, situasi seperti ini memang agak sulit untuk dihindari pemerintah,” ujarnya.
Menurutnya, keberadaan umrah mandiri menuntut pelaku usaha travel untuk berinovasi agar tetap bisa bersaing. “Peran-peran jasa perantara begitu ya, seperti halnya travel ini juga tergantung mereka kemudian merespons kebijakan ini ya dengan inovasi-inovasi dan kemudian terobosan-terobosan sehingga bisa tetap mendapatkan atau mendapatkan kue keekonomian daripada umrah ini,” katanya.
Namun, Mustolih juga memberi catatan kritis. Ia menilai sistem umrah mandiri berpotensi membuka ruang bagi pelaku usaha asing untuk masuk terlalu bebas.
“Dalam pengertian, ini kan semua diurus sendiri. Tapi kan harus tetap jasa perantara. Misalnya sekarang menggunakan Nusuk Arab Saudi melalui katakanlah sektor BUMN-nya itu kan menerapkan Nusuk. Namanya Nusuk itu semacam aplikasi yang bisa mengurus semua aspek,” ujarnya.
Aplikasi Nusuk disebut bisa mengatur visa, hotel, transportasi, hingga wisata. Artinya, jamaah secara tidak langsung menyalurkan devisa ke Arab Saudi. “Di sisi lain, norma undang-undang 14 Nomor 2025 itu, entitas bisnis asing itu tidak diberikan syarat ketika mereka membuka layanan begitu,” jelas Mustolih.
Hal ini, katanya, menjadi keluhan pelaku travel dalam negeri. “Nah ini yang kemudian dianggap oleh teman-teman travel ada semacam ketidakadilan, kekurangberpihakan pembuat undang-undang terhadap pelaku usaha dalam negeri sendiri,” tegasnya.
Ia menambahkan, potensi dominasi aplikasi asing bisa semakin besar jika tidak diantisipasi. “Belum lagi, kalau Nusuk misalnya jelas punyanya Arab Saudi, nanti kalau misalnya ada aplikasi atau aplikator-aplikator atau e-commerce yang menawarkan jasa dari negara lain di luar Nusuk. Misalnya kan boleh-boleh saja, Nah ini yang kemudian harus terhadap proteksi negara kita,” lanjutnya.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu memiliki strategi agar tidak melepas begitu saja regulasi umrah mandiri tanpa proteksi ekonomi nasional.
Ia mencontohkan, jika ada aplikasi umrah mandiri yang menawarkan diskon atau cashback, seharusnya tetap menggunakan maskapai nasional agar keuntungan ekonomi tetap dirasakan Indonesia.
“Negara jangan hanya mengirim jamaah, tapi tidak mendapatkan apa-apa secara ekonomi. Justru sebaliknya, karena jamaah Indonesia besar bisa mencapai 1,8 juta orang per musim, terutama puncaknya menjelang akhir tahun dan bulan puasa sampai Syawal,” ujarnya.
“Itu kan berbondong-bondong masyarakat ke sana. Apa kita cuma melihat begitu saja masalah kita datang tanpa kemudian mendapatkan manfaat dan tadi proteksi terhadap pelaku usaha atau keberpihakan kepada pelaku usaha umrah tadi,” tambahnya.
“Karena itu saya kira ini menjadi PR,” pungkasnya.


